KURIA DI TAPANULI SELATAN
Rumah Controleur di Padang Sidempuan 1844
Ada beberapa pendapat terkait asal usul dari kata Kuria, pertama kata Kuria berkaitan dengan badan keagamaan yang didirikan oleh kaum Paderi. nama kuria tampaknya berasal dari bahasa Arab, dan telah diperkenalkan selama dominasi Padri di bawah Tuanku Rao, yang juga memberikan gelar kali kepada kepala-kepala suku yang diangkatnya sebagai wakilnya yang sah. De Stuers memberikan pernyataan di bagian I, halaman 168 dari bukunya, yang sesuai dengan ini
Yang kedua di dalam Tijdschrift voor Neerland's Indiƫ 1846 di tuliskan juga bahwa untuk kepentingan bersama beberapa huta bergabung membentuk suatu entitas politik yang disebut Janjian dan kata Kuria yang berasal dari bahasa Melayu juga sering digunakan untuk menyebut entitas gabungan ini pemimpin dari entitas gabungan ini menyandang gelar Panusunan. Saat Pemerintah Sipil diperkenalkan di Mandailing nama yang digunakan untuk pemerintahan pribumi adalah djandjian dan Kuria, yang digunakan secara bergantian namun, seiring berjalannya waktu nama koria semakin disukai nama djandjian akhirnya tidak digunakan lagi.
Dan yang ketiga menurut Pijper, kuria paling mengingatkan pada kata Arab: Kar ja, yang berarti tempat. Menurut Prof. Husein Jajadiningrat memperoleh informasi, kata Arab Karia atau Kuria tampaknya berarti tempat atau desa kecil, secara teknis digunakan sebagai salah satu istilah untuk kotamadya yang berhak menyelenggarakan Sholat jumat. Seperti kata mukim di Aceh, kata itu berarti yurisdiksi teritorial di Sumatera. Di dalam bahasa arab sebuah desa disebut dengan Qurya, jadi kata Kuria bukanlah kata yang berasal dari Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.
Pada masa penyelenggaraan pemerintahan oleh pemerintah kolonial pada tahun ± 1840-an, Kuria di lembagakan dalam sistem pemerintahan Kolonial Belanda, wilayah sebuah kuria bertepatan baik dengan desa induk dusun atau dengan beberapa desa induk yang lebih kecil dengan desa-desa sampingan, meskipun di dalam sebuah kekuriaan terdapan beberapa desa induk yang di pimpin raja panusunan, para raja panusunan tetap mempertahankan hak prerogatif adat mereka, dan raja panusunan yang dikukuhkan pemerintah sebagai kepala kuria diakui sebagi kepala adat tertinggi dan menjadi ketua rapat adat informal, dan di tempat yang menjadi objek penelitian yaitu Tambangan, kekepalaan Kuria ada dalam keluarga raja panusunan. (Di tiap tempat kedudukan kepala kuria tidak selalu sama, ada juga kuria yang dikepalai oleh Raja pamusuk, ini tergantung dari lokasi dan komponen desa atau huta yang membentuk kekuriaan tersebut)
Dalam perjalanannya Pemerintah kolonial berencana untuk melakukan penggabungan kuria yang bertujuan untuk mengurangi pengeluaran pemerintah dengan menyesuaikan jumlah penduduk dalam suatu kekuriaan, namun di beberapa tempat terutama di divisi Sibolga secara umum penggabungan ini tidak berhasil karena hubungan silsilah dan perbedaan asal usul tidak cukup diperhitungkan, hasilnya adalah dalam kuria yang digabungkan:
1. Kepala kuria yang di tetapkan, di dalam kuria lama yang bukan miliknya hanya diakui sebagai kepala pemerintahan tertinggi namun tidak sebagai kepala adat tertinggi, kepala adat tertinggi tetap berada di tangan kepala kuria lama.
2. Selalu ada perselisihan dan selalu ada upaya untuk mengulingkan kepala kuria yang ditetapkan, oleh masyarakat kepala kuria lama.
3. Dalam sebuah pemilihan, penduduk kedua kuria yang digabungkan saling bertentangan satu sama lain, bahkan para kepala kuria yang ditetapkan dalam penggabungan meskipun pendapatan mereka meningkat akibat penggabungan tersebut, menyatakan keinginan mereka untuk membatalkan dan menghapuskan penggabungan tersebut, tidak ada gunanya kata mereka jika selalu ada semut diselimut kita. Sikap ini tentunya juga di pengaruhi oleh rasa takut mereka bahwa setelah mereka meninggalkan kedudukan mereka seseorang dari kuria lain akan terpilih sebagai kepala kuria, mengingat penggabungan kuria ini mengharuskan adanya pemilihan kepala kuria.
Masalah yang lebih besar adalah ketika pengabungan kuria dari marga yang berbeda yang mengakibatkan seringnya terjadi kekerasan, lagi pula dalam setiap komunitas adat hak hak dasar dimiliki oleh marga yang memerintah sperti halnya hak raja panusunan dan hak hak istimewa tertentu. Karena didalam adat setiap raja panusunan dan kerabatnya memiliki posisi tersendiri dalam tatanan kehidupan sosial di masyarakat yang tetap digunakan dalam tatanan pemerintahan kekuriaan, akibat nya jika ada pengabungan dua kuria maka kuria yang tidak ditetapkan akan kehilangan posisi dan hak nya, ditambah ketika kepala kuria yang berkuasa sebelumnya meninggalkan kedudukannya dan akan di adakan pemilihan kepala kuria baru di antara dua kuria yang digabungkan maka akan terjadi perubahan proporsi pemerintahan jika kepala kuria terpilih berasal dari kuria yang sebelumnya tidak berkuasa, dengan demikian pengabungan kuria ini mendorong disorganisasi di masyarakat. Penggabungan Kuria ini dimulai pada tahun 1923.
Terkait persoalan Yuridiksi, sebelum tahun 1916 seorang Kepala Kuria adalah kepala pemerintahan Pribumi tertinggi, setiap Kuria waktu itu memiliki pengadilan nya sendiri yang di pimpin oleh kepala kuria. Ketika pemerintahan distrik didirikan tahun 1916 situasi secara otomatis berubah, bahwa kepala distrik (Demang) menjadi pimpiman baru dari pengadilan, perampasan otoritas yudisial dari kepala kuria menjadi keluhan besar para kepala kuria yang mengakibatkan ketidakpuasan terhadap Pemerintah kolonial Hindia Belanda. Hal ini dikarenakan para kepala kuria pada dasarnya adalah para raja panusunan yang berhak menyelenggarakan peradilan di masyarakat, sementara Demang adalah seorang pribumi yang diangkat Pemerintah Hindia Belanda yang bukan merupakan seorang raja panusunan, walaupun Pemerintah sering mengangkat Demang dari kerabat para raja panusunan namun hal ini tetap menimbulkan ketidakpuasan dari para kepala kuria karena sangat tidak sesuai dengan sistem pemerintahan adat yang masih digunakan di tiap tiap kuria. Dalam perkembangan pemerintahan memang ada kuria kuria baru yang di bentuk di era pemerintahan kolonial sperti kasus kuria huraba dan dan kuria sianggunan, namun pembentukan dua kuria ini tetap melalui mekanisme adat yang di mulai dengan pembukaan huta baru di wiayah yang diberikan oleh kepala Kuria Marancar, sehingga secara adat mereka adalah raja yang sah di huta nya tersebut, setelah itu barulah kemudian di usulkan kepada pemerintahan kolonial untuk dijadikan sebuah kekuriaan. Hal ini tentu sangat berbeda dengan pengangkatan kepala Distrik oleh pemerintah kolonial.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari sumber penulisan tulisan ini.
Dirangkum dari berbagai sumber :
-Tijdschrift voor Neerland's Indiƫ
-Nota omtrent de inlandsche rechtsgemeenschappen in het gewest Tapanoeli
-dan sumber sumber tulisan lainnya
Catatan:

Komentar
Posting Komentar